MUSTAHAK untuk menelisik, pada sudut pandang yang bagaimana sesungguhnya kita melihat Batam dan Kepri kini? Benarkah, serangkai dengan histeria sementara kalangan di kawasan ini dalam menyambut status free trade zone (FTZ), kita sudah berdiri di tempat yang pas demi menatap Batam dan Kepri dengan penuh optimis, penuh percaya diri?
Pertanyaan semacam itu perlu digugah kembali karena jangan-jangan – meskipun Batam, Bintan, dan Karimun (BBK) baru saja ketiban ”bulan jatuh”– di sebuah ranah yang gelap di sana, ternyata, masih saja ada yang memasang sikap ragu, ambigu, bahkan pesimis.
Tidak mudah memang bagi masyarakat kita hari ini, terutama di Batam, bisa benar-benar dengan tulus menerima FTZ sebagai suatu ”rahmat”. Malah, yang lebih musykil lagi, masih banyak yang hanya memandangnya serupa menjeling gelas kosong: mau FTZ, FTZ-lah, tak pun, lantaklah situ…
Sejarah Batam bagi masyarakatnya, meminjam senda gurau Candra Ibrahim, bos saya di Batam Pos adalah bahasa yang ”itil” (ilang-ilang timbul) di antara phobia dan euforia. Ketakutan, juga harapan. Ini berkelindan dengan historis kelahirannya ketika sebuah ”pembangunan” oase tiba-tiba dipaksakan menjulang di tengah padang sahara masyarakat Batam 30-an tahun yang lalu.
Hampir empat dasawarsa silam, siapa sih yang kenal Batam? Dari pulau yang seakan terhalau dengan populasi cuma 6.000 penduduk, kini menjelma jadi negeri persinggahan, dihuni 800 ribu lebih jiwa, plus sederet tahta yang hedonistik-pragmatik: bonded zone, kawasan industri, ekstravaganza, rumah-rumah bordil, istana amusemen, dan seterusnya.
Jika sastrawan Taufik Ikram Jamil menulis prosa tentang Batam dengan mengambil sepenggal legenda Temasek dan menaruh ”Batam Dilanggar Todak” sebagai tajuknya, maka sekarang kota ini seolah tersergam dalam lukisan majas Ruth McVey, The Specter of Capitalism. Benar, Batam (telah) Dilanggar Hantu Kapitalisme.
Lalu, mendadak kita menjadi khawatir ketika psikolog Sarlito Wirawan dalam sebuah kunjungannya ke Batam beberapa tahun lampau, bermasygul hati mengungkapkan, ”Batam dibangun dengan jiwa yang rapuh, dengan pondasi yang tak utuh.” Menengok Batam sebentar ke belakang, agaknya kesedihan Sarlito itu benar belaka.
Ingat ketika Kapolri Sutanto menabuhkan genderang perang menutup semua pintu perjudian di tanah air? Batam menjadi ironi yang dicemooh banyak orang saat itu, karena, entah siapa yang memulai, tiba-tiba muncul satu teori –mungkin lebih mirip konspirasi: tanpa judi, perekonomian Batam nge-drop. Sebagian masyarakat gelisah, panik, sampai-sampai kepada harian Batam Pos, harian lokal yang terbit di Batam, Kapolda Kepri waktu itu, Anton Bachrul Alam, mengejek, ”cacing saja bisa cari makan, masak orang Batam nggak?”.
Nun dari penghujung abad ke-14, dari para ahli hukum Romawi, rasanya kita mendapatkan teori yang lebih mengena. Glebae adscripti alias masyarakat yang tak terikat dan mengikat dengan tanahnya, sebut mereka, hanya akan menjadi potensi domestik yang sia-sia. Artinya, ketika keterlibatan seseorang atau sekelompok orang terhadap sumber-sumber pembangunannya hanya dilandasi kehendak artifisial dan instan semata, maka saat itulah sebenarnya proses otonomisasi atas diri mereka sendiri melemah. Semangat lokalitas terhancurkan, dan apa yang kita sanjung sebagai sense of belonging pada akhirnya hanya akan terngilai-ngilai mengolok-olok diri sendiri.
Pertanyaannya, terjebak dalam kerangka ”ketidaksetiaan” inikah masyarakat Batam dan Kepri sekarang? Tentu saja jawabannya amat debatable. Yang pasti, insyaallah, bagi saya Batam adalah tanah tumpah darah. Anda?
Batam Tumpah Darah
Rabu, 05 Desember 2007 | Diposting oleh ramon damora di 13.42
Label: membaca batam
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
1 komentar:
dah lama ya pak nggak di update blognya
Posting Komentar