PERTANYAAN Mas Radik, supir taksi Bandara Internasional Ngurah Rai, Denpasar, yang mengangkut kami siang itu, tentu saja tidak dapat saya jawab. ”Menteri kok acaranya di Sofitel, Pak, bukan di Nusa Dua seperti biasa?” kata pria asal Semarang yang mengaku sudah 10 tahun menetap di Bali tersebut. Saya terpaksa berpura-pura tenggelam dalam keheningan, karena memang tidak tahu persis jawabannya. Sesekali saya melirik ke jok belakang, tempat Rizal Saputra, sahabat erat saya, duduk mengulum senyum.
Jangankan soal di mana para menteri mesti bikin kegiatan di Bali, nama Sofitel pun baru kami dengar satu jam sebelum bertolak ke Denpasar dari Cengkareng. Itupun melalui sebuah pesan pendek Junaidi, ajudan Gubernur Kepri yang soft itu. Ya, kalau mau dibilang keberangkatan ini terburu-buru, memang begitulah faktanya. Toh, lebih baik bergegas daripada tidak mereportase momen sepenting JSC sama sekali, bukan?
Adalah M Nur, Kepala Biro Hukum dan Pemerintahan Pemprov Kepri, yang meleguh-selaraskan keberangkatan kami berdua meliput agenda JSC di Bali itu, bulan lalu. Ini rahasia birokrasi sebenarnya. Tapi harus saya sebutkan dengan tabik takzim: Bang Junaidi, juga Bang Nur, adalah sepasang supermesin bagi mobilitas Gubernur Kepri, Ismeth Abdullah, yang demikian tinggi. Kehadiran gubernur yang selalu menjadi ”bintang” di forum JSC, tak terlepas dari barisan ”lapis tengah” ini. Di tangan keduanya, kami pun ikut-ikutan kejatuhan ”bintang”. Dari Batam ke Bali, Nur yang mengurus. Di Bali, semua diatur Junaidi. Tepat di tengah-tengah kebaikan hati kedua insan ini, di situlah Mas Radik, supir taksi yang memperistri wanita Singaraja itu, berada, menemani kami kemanapun pergi.
Tapi, wahai Mas Radik, di mana saja engkau berada sekarang, sesungguhnya bukan Sofitel, hotel yang menyebut-nyebut dirinya dalam selembar brosur sebagai art de vivre (seni hidup) tersebut yang menjadi pasal. Bukan pula Nusa Dua. Seminyak, tempat Sofitel menyembul dengan marmer-marmer tropis berukiran Balinya itu, maupun Nusa Dua, sama-sama merupakan obyek wisata yang melenakan hati, selain Pantai Kuta atau Jimbaran, pasti. Pertanyaannya barangkali adalah, mengapa JSC yang memasuki tahap kelima ini digelar di Bali?
Saya langsung berpikir bahwa muaranya adalah optimisme. Ketika JSC pertama kali digelar pertengahan Juni tahun 2006 lalu, sejumlah orang masih bersikap skeptis. Maklum, yang dibahas adalah pengembangan Batam, Bintan, dan Karimun. Tiga kawasan yang dalam tiga tahun terakhir tengah lesu darah. Sebagian kalangan lagi bahkan memandangnya secara sangat politis. Joint Steering Committee (Komite Pengarahan Bersama) Indonesia-Singapura tersebut, konon, sengaja dihadirkan dengan embel-embel ”pembahasan spesifik”, setelah Nota Kesepahaman yang ditandatangani antara Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dengan Perdana Menteri Singapura Lee Hsien Loong sebelumnya, tidak beroleh respon positif dari kalangan pengusaha kedua negara.
Seiring waktu, JSC tiba-tiba bagai candu. Siapa yang tidak ”mabuk” ketika Indonesia dan Singapura melalui wadah JSC menyetujui Batam, Bintan, dan Karimun sebagai Kawasan Ekonomi Khusus? JSC pun lalu seperti berlari. Empat pertemuan sebelumnya digeber di Jakarta dua kali, Batam, kemudian Singapura. JSC juga melahirkan Joint Working Group (JWG), tim gabungan kedua negara yang bertugas mendukung kerja JSC. Ia menjadi ”anak buah” JSC yang loyal: mengawasi implementasi action plan pengembangan KEK, memberikan rekomendasi, dan melakukan seluruh pekerjaan serta studi staf yang disesuaikan dengan arahan ”si bos”.
Maka, jalan menuju KEK BBK benar-benar terhampar mulus. Dan, JSC mel aju dengan ngebut di jalan yang tak berkelok itu. Baru saja menyelesaikan pertemuan keempatnya, JSC seakan memberikan spirit bagi lahirnya Perppu Nomor 1 tahun 2007, plus PP Nomor 46, 47, dan 48. Nah, pada titik inilah letupan optimisme itu menyala. Memilih Bali sebagai tempat pertemuan JSC selanjutnya, ibarat memilih sebuah sunset bar di halaman belakang Sofitel sebagai tempat menikmati matahari warna keemasan yang berenang di ufuk barat horizon lautan lepas. Memilih Bali, seolah JSC hendak menyiarkan kepada masyarakat pariwisata dunia bahwa BBK kini sedang berbenah: datang dan singgahlah.
Optimisme itu pula yang langsung tersambar mata dalam pertemuan JSC kelima itu. Menko Perekonomian Boediono, mengatakan, pembahasan soal investasi kedua negara di tahap kelima ini membuahkan hasil sangat bagus. ”Kita dengar tadi apa yang telah Singapura laksanakan, kita beberkan pula pencapaian Indonesia. Segalanya akan jadi lebih mudah sejak Perppu dan PP 46,47,48,” ujarnya. Ada sekitar 10 jam Boediono menjadi ”host” dalam pertemuan JSC itu. Ia sekaligus menjadi koordinator delegasi Indonesia yang saat itu dihadiri juga Menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu, Menteri Perindustrian Fahmi Idris, Menteri Tenaga Kerja Erman Suparno, dan Gubernur Kepri Ismeth Abdullah sendiri. Wajah Boediono mengguratkan lelah setelah meeting itu berakhir menjelang Maghrib.
Namun di sunset bar yang sama, kelelahan Boediono segera menguap. Pasalnya, di tempat ini jamuan makan malam digelar begitu acara usai. Puluhan delegasi asal Singapura dan Indonesia bertebaran di situ sambil mencari-cari view yang molek. Meja-meja prasmanan terhampar di bawah naungan langit jingga, disentuh alunan gemuruh ombak yang datang dari pantai Seminyak. Boediono, Mari Elka, dan sejumlah menteri Singapura mengambil meja paling utara. Gubernur Kepri Ismeth Abdullah memang lebih dulu meninggalkan Sofitel untuk sebuah urusan di Jakarta. Tapi the three musketeers-nya yang selalu dibawa Ismeth setiap hajatan JSC digelar, memilih tinggal. Mereka, Kepala Badan Penanaman Investasi Kepri HS Taufik, Kepala Disperindag Jon Arizal, dan Kepala Bagian Perekonomian Tagor, meriung bersama kami.
Saya beruntung mendapatkan waktu cukup lama berbincang-bincang dengan Kepala BKPM M Lutfi di tengah hingar-bingar suara lenguhan pengiring penari Barong yang membelakkan sepasang matanya. Saat saya singgung bahwa Dewan Kawasan yang bakal segera dibentuk di Kepri hanya akan memunculkan superbody kalangan tertentu, pria berwajah klimis tapi bersuara bariton di depan mikropon itu agak sedikit temberang. ”Kamu orang Batam, kan? Ayo dong, ngapain lagi, sih, kita ngomongin hal-hal yang menghabiskan energi. Sudahlah, kita nikmati saja ini (FTZ), naik Mercy lagi, beli elektronik murah lagi...Dewan Kawasan itu bukan bentuk arogansi satu pihak kepada pihak lain, atau sebaliknya, kekecewaan-kekecewaan...” katanya sambil menepuk-nepuk pundak saya sebentar, lalu berlalu.
Sejurus kemudian mata saya tak bisa pergi dari kecak penari Bagong di panggung itu. Syahdan, tari Barong melukiskan tentang pertarungan kebajikan (dharma) dan keburukan (adharma) yang selalu berseteru...***
Ayo Batam, Naik Mercy Lagi!
Rabu, 05 Desember 2007 | Diposting oleh ramon damora di 13.21
Label: membaca batam
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar