Sayembara Puisi dan Cerpen Jambi

I. Ketentuan Umum

1. Acuan utama lomba ini adalah penulisan puisi dan cerita pendek
dilaksanakan sebagai hasil proses interpretasi terhadap ceita rakyat
Jambi. Sumber cerita rakyat dapat berasal dari manuskrip, buku cerita
rakyat yang telah diterbitkan ataupun sumber-sumber lisan. Aspek
kreatifitas sebagai hasil interpretasi merupakan acuan utama lomba
ini. Oleh karena itu sangat terbuka adanya pemahaman yang beragam dari
peserta lomba baik dari sisi tema, tokoh, latar maupun aspek-aspek lain.

2. Peserta terbuka untuk umum.

3. Tema puisi dan cerita pendek bersifat bebas/tidak mengikat, tidak
bersifat SARA.

4. Peserta melampirkan bio data, fhoto diri ukuran post card, berwarna
sebanyak 2 lembar.

5. Naskah puisi dan cerita pendek telah diterima panitia
selambat-lambatnya pada 31 Maret 2008.


II. Ketentuan Khusus

A. Lomba Penulisan Puisi Berbasis Cerita Rakyat Jambi.

1. Peserta diperkenankan mengirimkan 3 (judul) puisi.

2. Belum pernah dipublikasikan di media massa baik local maupun
nasional, ataupun dalam bentuk buku/antologi maupun melalui internet.

3. Karya cipta harus asli, bukan terjemahan maupun saduran, jiplakan
atau dibuatkan oleh orang lain (bukan hasil plagiat), dan bukan hasil
klaim terhadap hak cipta orang lain.

4. Apabila pada karyanya terdapat ungkapan, istilah, kata frase,
kalimat dan bahasa setempat (bahasa Melayu Jambi dan dialeknya) harus
dibuat penjelasannya yang ditulis pada lembar tersendiri.

5. Diketik rangkap 4 pada kertas ukuran kuarto, huruf Times New Roman,
font 12 pt, spasi 1,5.

6. Naskah puisi, bio data, surat pernyataan, tanda pengenl yang masih
berlaku, lembar penjelasan dikirimkan dalam amplop tertutup disertai
disket atau compact disc ke alamat:
Panitia Lomba Penulisan Puisi dan Cerita Pendek Berbasis Cerita Rakyat
Jambi
Jambi Writing Program
Jln. Prof. HMO. Bafadhal RT. 07 RW. 03 No. 04
Cempaka Putih � Jambi 36134,
Pada kiri atas amplop ditulis jenis lomba yang diikuti.

7. Dapat pula dikirim via e-mail ke:
newwacana@yahoo. com

B. Lomba Penulisan Cerita Pendek Berbasis Cerita Rakyat Jambi.

1. Peserta diperkenankan mengirimkan 3 (judul) cerpen.

2. Belum pernah dipublikasikan di media massa baik local maupun
nasional, ataupun dalam bentuk buku/antologi maupun melalui internet.

3. Karya cipta harus asli, bukan terjemahan maupun saduran, jiplakan
atau dibuatkan oleh orang lain (bukan hasil plagiat), dan bukan hasil
klaim terhadap hak cipta orang lain.

4. Apabila pada karyanya terdapat ungkapan, istilah, kata frase,
kalimat dan bahasa setempat (bahasa Melayu Jambi dan dialeknya) harus
dibuat penjelasannya yang ditulis pada lembar tersendiri.

5. Diketik rangkap 4 pada kertas ukuran A4, huruf Times New Roman,
font 12 pt, spasi ganda, minimal 6 halaman maksimal 10 halaman.

6. Naskah cerita pendek, bio data, surat pernyataan, tanda pengenal
yang masih berlaku, lembar penjelasan dikirimkan dalam amplop tertutup
disertai disket atau compact disc ke alamat:
Panitia Lomba Penulisan Puisi dan Cerita Pendek Berbasis Cerita Rakyat
Jambi
Jambi Writing Program
Jln. Prof. HMO. Bafadhal RT. 07 RW. 03 No. 04
Cempaka Putih � Jambi 36134,
Pada kiri atas amplop ditulis jenis lomba yang diikuti.

7. Dapat pula dikirim via e-mail ke:
newwacana@yahoo. co


III. Dewan Juri

Untuk memperoleh obyektifitas penilaian pada lomba "Penulisan Puisi
dan Cerita Pendek Berbasis Cerita Rakyat Jambi" ditentukan 3 (tiga)
orang dewan juri dengan komposisi 2 (dua) orang dari luar provinsi
Jambi dan 1 (satu) orang dari Jambi.

IV. Hadiah dan Penghargaan

A. Hadiah dan penghargaan untuk lomba penulisan puisi berbasis cerita
rakyat.

a. 1 pemenang : hadiah uang Rp. 1.000.000, plakat
dan paket buku.
b. 10 nominasi : hadiah uang Rp. 500.000,-, plakat
dan paket buku.

B. Hadiah dan penghargaan untuk lomba penulisan cerita pendek berbasis
ceria rakyat Jambi

a. 1 pemenang : hadiah uang Rp. 2.000.000, plakat
dan paket buku.

b. 10 nominasi : hadiah uang Rp. 500.000,-, plakat
dan paket buku.
Keseluruhan puisi dan cerita pendek pemenang serta nominasi akan
dibukukan dalam kumpulan puisi dan cerita pendek yang akan
disosialisasikan bersamaan dengan pengumuman pemenang dan nominasi
pada 1 Mei 2008. pemenang pertama dari tiap-tiap kategori akan
diundang panitia untuk menghadiri pengumuman pemenang dan peluncuran
buku hasil lomba.

Salam Budaya,

Firdaus Ima Mardaini
Ketua Sekretaris


Batam Tumpah Darah

MUSTAHAK untuk menelisik, pada sudut pandang yang bagaimana sesungguhnya kita melihat Batam dan Kepri kini? Benarkah, serangkai dengan histeria sementara kalangan di kawasan ini dalam menyambut status free trade zone (FTZ), kita sudah berdiri di tempat yang pas demi menatap Batam dan Kepri dengan penuh optimis, penuh percaya diri?

Pertanyaan semacam itu perlu digugah kembali karena jangan-jangan – meskipun Batam, Bintan, dan Karimun (BBK) baru saja ketiban ”bulan jatuh”– di sebuah ranah yang gelap di sana, ternyata, masih saja ada yang memasang sikap ragu, ambigu, bahkan pesimis.

Tidak mudah memang bagi masyarakat kita hari ini, terutama di Batam, bisa benar-benar dengan tulus menerima FTZ sebagai suatu ”rahmat”. Malah, yang lebih musykil lagi, masih banyak yang hanya memandangnya serupa menjeling gelas kosong: mau FTZ, FTZ-lah, tak pun, lantaklah situ…

Sejarah Batam bagi masyarakatnya, meminjam senda gurau Candra Ibrahim, bos saya di Batam Pos adalah bahasa yang ”itil” (ilang-ilang timbul) di antara phobia dan euforia. Ketakutan, juga harapan. Ini berkelindan dengan historis kelahirannya ketika sebuah ”pembangunan” oase tiba-tiba dipaksakan menjulang di tengah padang sahara masyarakat Batam 30-an tahun yang lalu.

Hampir empat dasawarsa silam, siapa sih yang kenal Batam? Dari pulau yang seakan terhalau dengan populasi cuma 6.000 penduduk, kini menjelma jadi negeri persinggahan, dihuni 800 ribu lebih jiwa, plus sederet tahta yang hedonistik-pragmatik: bonded zone, kawasan industri, ekstravaganza, rumah-rumah bordil, istana amusemen, dan seterusnya.

Jika sastrawan Taufik Ikram Jamil menulis prosa tentang Batam dengan mengambil sepenggal legenda Temasek dan menaruh ”Batam Dilanggar Todak” sebagai tajuknya, maka sekarang kota ini seolah tersergam dalam lukisan majas Ruth McVey, The Specter of Capitalism. Benar, Batam (telah) Dilanggar Hantu Kapitalisme.

Lalu, mendadak kita menjadi khawatir ketika psikolog Sarlito Wirawan dalam sebuah kunjungannya ke Batam beberapa tahun lampau, bermasygul hati mengungkapkan, ”Batam dibangun dengan jiwa yang rapuh, dengan pondasi yang tak utuh.” Menengok Batam sebentar ke belakang, agaknya kesedihan Sarlito itu benar belaka.

Ingat ketika Kapolri Sutanto menabuhkan genderang perang menutup semua pintu perjudian di tanah air? Batam menjadi ironi yang dicemooh banyak orang saat itu, karena, entah siapa yang memulai, tiba-tiba muncul satu teori –mungkin lebih mirip konspirasi: tanpa judi, perekonomian Batam nge-drop. Sebagian masyarakat gelisah, panik, sampai-sampai kepada harian Batam Pos, harian lokal yang terbit di Batam, Kapolda Kepri waktu itu, Anton Bachrul Alam, mengejek, ”cacing saja bisa cari makan, masak orang Batam nggak?”.

Nun dari penghujung abad ke-14, dari para ahli hukum Romawi, rasanya kita mendapatkan teori yang lebih mengena. Glebae adscripti alias masyarakat yang tak terikat dan mengikat dengan tanahnya, sebut mereka, hanya akan menjadi potensi domestik yang sia-sia. Artinya, ketika keterlibatan seseorang atau sekelompok orang terhadap sumber-sumber pembangunannya hanya dilandasi kehendak artifisial dan instan semata, maka saat itulah sebenarnya proses otonomisasi atas diri mereka sendiri melemah. Semangat lokalitas terhancurkan, dan apa yang kita sanjung sebagai sense of belonging pada akhirnya hanya akan terngilai-ngilai mengolok-olok diri sendiri.

Pertanyaannya, terjebak dalam kerangka ”ketidaksetiaan” inikah masyarakat Batam dan Kepri sekarang? Tentu saja jawabannya amat debatable. Yang pasti, insyaallah, bagi saya Batam adalah tanah tumpah darah. Anda?

Ayo Batam, Naik Mercy Lagi!

PERTANYAAN Mas Radik, supir taksi Bandara Internasional Ngurah Rai, Denpasar, yang mengangkut kami siang itu, tentu saja tidak dapat saya jawab. ”Menteri kok acaranya di Sofitel, Pak, bukan di Nusa Dua seperti biasa?” kata pria asal Semarang yang mengaku sudah 10 tahun menetap di Bali tersebut. Saya terpaksa berpura-pura tenggelam dalam keheningan, karena memang tidak tahu persis jawabannya. Sesekali saya melirik ke jok belakang, tempat Rizal Saputra, sahabat erat saya, duduk mengulum senyum.

Jangankan soal di mana para menteri mesti bikin kegiatan di Bali, nama Sofitel pun baru kami dengar satu jam sebelum bertolak ke Denpasar dari Cengkareng. Itupun melalui sebuah pesan pendek Junaidi, ajudan Gubernur Kepri yang soft itu. Ya, kalau mau dibilang keberangkatan ini terburu-buru, memang begitulah faktanya. Toh, lebih baik bergegas daripada tidak mereportase momen sepenting JSC sama sekali, bukan?

Adalah M Nur, Kepala Biro Hukum dan Pemerintahan Pemprov Kepri, yang meleguh-selaraskan keberangkatan kami berdua meliput agenda JSC di Bali itu, bulan lalu. Ini rahasia birokrasi sebenarnya. Tapi harus saya sebutkan dengan tabik takzim: Bang Junaidi, juga Bang Nur, adalah sepasang supermesin bagi mobilitas Gubernur Kepri, Ismeth Abdullah, yang demikian tinggi. Kehadiran gubernur yang selalu menjadi ”bintang” di forum JSC, tak terlepas dari barisan ”lapis tengah” ini. Di tangan keduanya, kami pun ikut-ikutan kejatuhan ”bintang”. Dari Batam ke Bali, Nur yang mengurus. Di Bali, semua diatur Junaidi. Tepat di tengah-tengah kebaikan hati kedua insan ini, di situlah Mas Radik, supir taksi yang memperistri wanita Singaraja itu, berada, menemani kami kemanapun pergi.

Tapi, wahai Mas Radik, di mana saja engkau berada sekarang, sesungguhnya bukan Sofitel, hotel yang menyebut-nyebut dirinya dalam selembar brosur sebagai art de vivre (seni hidup) tersebut yang menjadi pasal. Bukan pula Nusa Dua. Seminyak, tempat Sofitel menyembul dengan marmer-marmer tropis berukiran Balinya itu, maupun Nusa Dua, sama-sama merupakan obyek wisata yang melenakan hati, selain Pantai Kuta atau Jimbaran, pasti. Pertanyaannya barangkali adalah, mengapa JSC yang memasuki tahap kelima ini digelar di Bali?

Saya langsung berpikir bahwa muaranya adalah optimisme. Ketika JSC pertama kali digelar pertengahan Juni tahun 2006 lalu, sejumlah orang masih bersikap skeptis. Maklum, yang dibahas adalah pengembangan Batam, Bintan, dan Karimun. Tiga kawasan yang dalam tiga tahun terakhir tengah lesu darah. Sebagian kalangan lagi bahkan memandangnya secara sangat politis. Joint Steering Committee (Komite Pengarahan Bersama) Indonesia-Singapura tersebut, konon, sengaja dihadirkan dengan embel-embel ”pembahasan spesifik”, setelah Nota Kesepahaman yang ditandatangani antara Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dengan Perdana Menteri Singapura Lee Hsien Loong sebelumnya, tidak beroleh respon positif dari kalangan pengusaha kedua negara.

Seiring waktu, JSC tiba-tiba bagai candu. Siapa yang tidak ”mabuk” ketika Indonesia dan Singapura melalui wadah JSC menyetujui Batam, Bintan, dan Karimun sebagai Kawasan Ekonomi Khusus? JSC pun lalu seperti berlari. Empat pertemuan sebelumnya digeber di Jakarta dua kali, Batam, kemudian Singapura. JSC juga melahirkan Joint Working Group (JWG), tim gabungan kedua negara yang bertugas mendukung kerja JSC. Ia menjadi ”anak buah” JSC yang loyal: mengawasi implementasi action plan pengembangan KEK, memberikan rekomendasi, dan melakukan seluruh pekerjaan serta studi staf yang disesuaikan dengan arahan ”si bos”.

Maka, jalan menuju KEK BBK benar-benar terhampar mulus. Dan, JSC mel aju dengan ngebut di jalan yang tak berkelok itu. Baru saja menyelesaikan pertemuan keempatnya, JSC seakan memberikan spirit bagi lahirnya Perppu Nomor 1 tahun 2007, plus PP Nomor 46, 47, dan 48. Nah, pada titik inilah letupan optimisme itu menyala. Memilih Bali sebagai tempat pertemuan JSC selanjutnya, ibarat memilih sebuah sunset bar di halaman belakang Sofitel sebagai tempat menikmati matahari warna keemasan yang berenang di ufuk barat horizon lautan lepas. Memilih Bali, seolah JSC hendak menyiarkan kepada masyarakat pariwisata dunia bahwa BBK kini sedang berbenah: datang dan singgahlah.

Optimisme itu pula yang langsung tersambar mata dalam pertemuan JSC kelima itu. Menko Perekonomian Boediono, mengatakan, pembahasan soal investasi kedua negara di tahap kelima ini membuahkan hasil sangat bagus. ”Kita dengar tadi apa yang telah Singapura laksanakan, kita beberkan pula pencapaian Indonesia. Segalanya akan jadi lebih mudah sejak Perppu dan PP 46,47,48,” ujarnya. Ada sekitar 10 jam Boediono menjadi ”host” dalam pertemuan JSC itu. Ia sekaligus menjadi koordinator delegasi Indonesia yang saat itu dihadiri juga Menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu, Menteri Perindustrian Fahmi Idris, Menteri Tenaga Kerja Erman Suparno, dan Gubernur Kepri Ismeth Abdullah sendiri. Wajah Boediono mengguratkan lelah setelah meeting itu berakhir menjelang Maghrib.

Namun di sunset bar yang sama, kelelahan Boediono segera menguap. Pasalnya, di tempat ini jamuan makan malam digelar begitu acara usai. Puluhan delegasi asal Singapura dan Indonesia bertebaran di situ sambil mencari-cari view yang molek. Meja-meja prasmanan terhampar di bawah naungan langit jingga, disentuh alunan gemuruh ombak yang datang dari pantai Seminyak. Boediono, Mari Elka, dan sejumlah menteri Singapura mengambil meja paling utara. Gubernur Kepri Ismeth Abdullah memang lebih dulu meninggalkan Sofitel untuk sebuah urusan di Jakarta. Tapi the three musketeers-nya yang selalu dibawa Ismeth setiap hajatan JSC digelar, memilih tinggal. Mereka, Kepala Badan Penanaman Investasi Kepri HS Taufik, Kepala Disperindag Jon Arizal, dan Kepala Bagian Perekonomian Tagor, meriung bersama kami.

Saya beruntung mendapatkan waktu cukup lama berbincang-bincang dengan Kepala BKPM M Lutfi di tengah hingar-bingar suara lenguhan pengiring penari Barong yang membelakkan sepasang matanya. Saat saya singgung bahwa Dewan Kawasan yang bakal segera dibentuk di Kepri hanya akan memunculkan superbody kalangan tertentu, pria berwajah klimis tapi bersuara bariton di depan mikropon itu agak sedikit temberang. ”Kamu orang Batam, kan? Ayo dong, ngapain lagi, sih, kita ngomongin hal-hal yang menghabiskan energi. Sudahlah, kita nikmati saja ini (FTZ), naik Mercy lagi, beli elektronik murah lagi...Dewan Kawasan itu bukan bentuk arogansi satu pihak kepada pihak lain, atau sebaliknya, kekecewaan-kekecewaan...” katanya sambil menepuk-nepuk pundak saya sebentar, lalu berlalu.

Sejurus kemudian mata saya tak bisa pergi dari kecak penari Bagong di panggung itu. Syahdan, tari Barong melukiskan tentang pertarungan kebajikan (dharma) dan keburukan (adharma) yang selalu berseteru...***